Dalam hukum Islam, dikenal ada istilah qishash.
Secara bahasa, qishash artinya menggunting, mendekati, menceritakan, mengikuti jejak, dan membalas.
Secara defenitif qishash berarti hukuman yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk tindak pidana yang dilakukan, seperti membunuh pembunuh, mencederakan pencedera, dan memotong tangan orang yang memotong tangan.
Dalam Islam, landasan hukum qishash tertera dalam Quran Surat Al Baqarah ayat 178 dan Al Maidah ayat 45.
"Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu qishash atas orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Barangsiapa mendapat maaf dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar denda (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (Al Baqarah:178)
"Dan Kami tetapkan atas mereka di dalam Taurat bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka pun ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan hak qishash, maka melepaskan hak itu jadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang dzalim (Al Maa-idah:45)
Menurut Gurubesar ilmu tafsir Al Quran Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga pakar hukum Islam, Yunahar Ilyas, ada tiga macam pembunuhan dalam Islam. Tiga kategori ini akan menentukan hukuman bagi si pelaku pembunuhan.
Ketiga macam jenis pembunuhan tersebut adalah pembunuhan secara sengaja, pembunuhan setengah sengaja, dan pembunuhan secara tidak sengaja. Untuk membedakan tiga macam jenis pembunuhan tersebut, bukan dilihat dari motif pembunuhan tapi dilihat dari alat yang digunakan untuk membunuh.
"Bisa dibedakan, misal apakah korban terbunuh dengan pedang atau satu tamparan," kata Yunaha.
Yunahar melanjutkan, untuk kasus pembunuhan secara sengaja ada tiga model hukuman. Pertama, langsung dihukum mati setelah melalui proses pengadilan. Kedua, membayar diyatatau denda bila ahli waris korban memaafkan pelaku. Jumlah diyat sangat tergantung kepada kehendak ahli waris. Ketiga, tidak harus membayar denda dan dimaafkan sama sekali dari hukuman mati bila ahli waris korban menghendakinya.
Adapun pembunuhan secara setengah sengaja dilakukan misalnya, masih kata Yunahar, sesorang menampar atau memukul korban dengan kayu tapi akhirnya korban meninggal dunia. Hukuman bagi si pelaku pembunuhan jenis ini adalah membayar diyat yang ditentukan oleh pengadilan, bukan oleh ahli waris. Pelaku tidak sampai dijatuhi hukuman mati.
Pembunuhan jenis ketiga adalah pembunuhan secara tidak sengaja. Misalnya sesorang mengendarai mobil di jalanan lalu menabrak korban hingga meninggal dunia. Hukuman untuk pelaku pembunuhan jenis ini juga tidak sampai dihukum mati namun pelaku wajib berunding dengan ahli waris di pengadilan dan pengadilan yang menentukan jumlah diyat.
Yunahar menambahkan, dalam kasus pidana pembunuhan tidak diperlukan saksi. Hal ini berbeda dengan kasus pemerkosaan atau perzinahan. Dalam kasus pembunuhan yang dibutuhkan hanyalah alat bukti.
Dalam Islam, bukan sekedar nyawa pelaku pembunuhan yang diperhatikan namun juga nyawa si korban pembunuhan. Karena itu, Yunahar menilai pihak-pihak yang mengatasnamakan standar internasional dan menafikan hukuman mati, justru mengabaikan nyawa korban.
"Standar internasional juga tidak universal. Bila yang menguasai dunia internasional adalah Barat, maka standar-nya Barat. Coba kalau Islam yang menguasai dunia internasional? Jadi yang dinamakan standar atau etika internasional itu belum tentu universal," demikian Yunahar.
0 komentar:
Posting Komentar